Di-PHK, Karyawan Freeport Minta Presiden Turun ke Timika

JAKARTA – majalahglobal.com : Puluhan pekerja PT Freeport Indonesia yang tergabung dalam Gerakan Solidaritas Peduli Freeport (GSPF) menemui pimpinan DPR RI di Gedung Nusantara III, Senayan, Jakarta, Rabu (8/3). Mereka diterima oleh Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon yang ditemani anggota Komisi VII DPR Mokhtar Tompo dan Anggota Komisi VII dapil Papua Peggy Patricia Pattipi.
     
Ketua Adat Amungme dan Kamoro, Martinus Pagai mengatakan kedatangan mereka adalah untuk mengeluhkan soal pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak yang dilakukan oleh PTFI. “Presiden harus turun ke Timika lihat 30.000 karyawan jadi korban. Kembalikan,” tegasnya.
    
Menurutnya, PHK tersebut merupakan buntut dari kebijakan pemerintah yang merubah Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Khusus Pertambangan (IUPK). “Kami meminta IUPK dicabut. Harus dinormalkan. Amungme dan Kamoro dirugikan,” jelasnya.
    
Di kesempatan yang sama, Perwakilan karyawan PT Freeport, Friedrich Pagai juga menyesalkan pemerintah yang mengeluarkan kebijakan tanpa bertanya atau meminta pertimbangan masyarakat  terlebih dahulu.
     
“Kami ini rakyat, pemerintah katanya bikin UU untuk rakyat, itu rakyatnya yang mana ? Negara seolah bikin UU untuk rakyat tapi rakyat yang mana? Apa negara hadir ? Tiba-tiba bilang IUPK segala macam-macam. Harusnya tanya dulu IUPK penting enggak, untung nya apa ? Ini main IUPK aja,” ketusnya dengan suara lantang.
    
Lebih lanjut, dia berharap dalam 120 hari ke depan, pemerintah dapat memberikan kepastian atas semua orang Papua yang bekerja di Freeport.
    
Mendengar keluhan-keluhan tersebut, Fadli Zon kemudian meminta GSPF atau perwakilan pekerja PTFI untuk merangkum semua keluhan mereka ke dalam sebuah surat. Surat tersebut akan disampaikannya kepada pemerintah.
    
“Kami akan teruskan kepada Presiden Jokowi, Menteri ESDM Ignatius Jonan, dan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan,” kata Fadli.
    
Selain ke Gedung DPR RI, Perwakilan Suku Amungme dan Suku Kamoro dari Papua juga menyambangi Kementerian ESDM di Jakarta. Mereka menuntut pemerintah menutup pertambangan PT Freeport Indonesia.
     
Darmais, perwakilan warga Papua yang melakukan mediasi dengan Kementerian ESDM menjelaskan bahwa kehadiran Freeport justru menciptakan pertikaian antar suku-suku yang ada. Menurutnya, sejak Freeport hadir pada 1961 selalu terjadi kerusuhan besar. Kehadiran perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu sudah mempertaruhkan nyawa warga Papua.
    
“Kami adalah korban. Tidak ada unsur lain. Di sini semenjak Freeport hadir 1961 kerusuhan besar-besaran. Nyawa pun jadi taruhan,” ujarnya di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta (Rabu, 8/3).
     
Menurut Darmais, raksasa tambang tersebut memang kerap membagikan dana hibah kepada masyarakat sebesar 1 persen dari kegiatan operasional di Papua. Namun, dana hibah justru kerap menjadi sumbu pertikaian antar suku.
    
“Dana satu persen yang turun, dana hibah itu memang kebiasaan Freeport kalau ada masalah, pasti dananya turun. Terus dana satu persen itu jadi pertikaian antar suku,” bebernya. (Indigo)

Baca Juga :  Keren !!! Momen Prabowo Tawarkan Jan Ethes Naik Kuda: Mau Warna Putih atau Emas?

Berita Majalah Global Edisi 066, Maret 2017 :

Bapenda Kabupaten Mojokerto Sediakan Ratusan Hadiah Menarik Bagi Wajib Pajak Bumi dan Bangunan
Ratusan Bidan PTT Kabupaten Pasuruan Diangkat Jadi CPNS
Jembatan Brawijaya Kediri Tunggu Kepastian Hukum

Wali Kota Mojokerto Dukung Tantangan Media Massa di Era Digitalisasi 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *